Posted on

Mengenal Shinto Sebagai Agama Asli Jepang –  Shinto merupakan agama asli Jepang yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan identitas bangsa Jepang selama ribuan tahun. Sebagai sebuah sistem kepercayaan yang khas, Shinto mempunyai karakteristik yang membedakannya dari agama-agama besar lainnya di dunia.

Mengenal Shinto Sebagai Agama Asli JepangMengenal Shinto Sebagai Agama Asli Jepang

meirapenna – Mari kita eksplorasi lebih dalam mengenai Shinto, sejarahnya, prinsip-prinsip utamanya, serta praktik dan ritual yang masih relevan dalam kehidupan masyarakat Jepang modern.

Shinto, yang secara harfiah berarti “jalan para dewa”, adalah sistem kepercayaan asli Jepang yang berfokus pada penyembahan kami – kekuatan spiritual atau dewa-dewa yang dipercaya mendiami alam dan segala aspeknya. Berbeda dengan agama-agama besar lainnya, Shinto tidak mempunyai pendiri tunggal, kitab suci tertentu, atau doktrin yang ketat.

Akar Shinto dapat ditelusuri hingga zaman prasejarah Jepang, khususnya pada periode Yayoi (300 SM – 300 M). Pada zaman tersebut, masyarakat agraris Jepang kuno mengembangkan kepercayaan animistik yang menganggap alam sebagai tempat tinggal berbagai roh dan dewa. Mereka meyakini bahwa kekuatan-kekuatan alam ini mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga harus dihormati dan dipuja.

Seiring waktu, kepercayaan-kepercayaan lokal ini berkembang menjadi suatu sistem yang lebih terstruktur. Istilah “Shinto” mulai digunakan sekitar abad ke-6 M untuk membedakan kepercayaan asli Jepang dari Buddhisme yang baru dikenalkan dari daratan Asia. Meskipun demikian, Shinto dan Buddhisme kemudian mengalami sinkretisme selama berabad-abad, saling mempengaruhi dan berbaur dalam praktik keagamaan masyarakat Jepang.

Karakteristik utama Shinto adalah:

– Politeisme: Menyembah banyak kami atau dewa
– Animisme: Kepercayaan bahwa benda-benda alam memiliki roh
– Penekanan pada kesucian dan penyucian
– Penghormatan terhadap leluhur
– Hubungan yang erat dengan alam
– Fokus pada kehidupan duniawi daripada akhirat

Shinto bukanlah agama yang dogmatis, melainkan lebih merupakan cara hidup yang menekankan keselarasan dengan alam dan masyarakat. Fleksibilitas inilah yang memungkinkan Shinto bertahan dan beradaptasi selama ribuan tahun, meskipun di tengah arus modernisasi Jepang.

Sejarah Perkembangan Shinto di Jepang
Perkembangan Shinto sebagai agama terorganisir berlangsung secara bertahap selama berabad-abad. Berikut adalah beberapa tonggak penting dalam sejarah Shinto:

Zaman Kuno (sebelum abad ke-6 M)

Pada masa ini, kepercayaan animistik dan pemujaan alam berkembang dalam berbagai komunitas di Kepulauan Jepang. Ritual-ritual sederhana dilakukan untuk memohon perlindungan dan berkah dari kekuatan alam. Kuil-kuil primitif mulai dibangun di tempat-tempat yang dianggap sakral seperti gunung, air terjun, atau pohon besar.

Periode Asuka dan Nara (552-794 M)

Masuknya Buddhisme ke Jepang pada abad ke-6 mendorong formalisasi kepercayaan asli sebagai “Shinto”. Terjadi sinkretisme antara Shinto dan Buddhisme. Mitologi Shinto mulai diperdalam dalam karya-karya seperti Kojiki (712 M) dan Nihon Shoki (720 M). Kuil-kuil besar pertama didirikan, termasuk Kuil Ise yang menjadi pusat spiritual Shinto.

 

Baca Jugaa : Terapkan Mengenai Masakan Terbaik Tokyo 

 

Periode Heian (794-1185 M)

Shinto semakin menyatu dengan sistem kekuasaan kekaisaran. Ritual-ritual kerajaan yang melibatkan pemujaan kami semakin kompleks. Muncul kepercayaan bahwa kaisar adalah keturunan langsung dari dewi matahari Amaterasu. Sinkretisme Shinto-Buddha semakin mendalam.

Periode Kamakura hingga Edo (1185-1868 M)

Berkembangnya aliran-aliran baru dalam Shinto, termasuk Yoshida Shinto yang berusaha memurnikan ajaran Shinto dari pengaruh Buddha. Shinto mulai dikaitkan dengan semangat nasionalisme Jepang. Kuil-kuil Shinto semakin banyak tersebar di seluruh negeri.

Periode Meiji (1868-1912 M)
Restorasi Meiji menandai kebangkitan Shinto sebagai agama negara. Pemerintah memisahkan Shinto dari Buddhisme secara paksa dan menjadikannya ideologi resmi negara. Kaisar dianggap sebagai keturunan dewa yang harus disembah. Kuil-kuil Shinto distandarisasi dan dikelola oleh negara.

Pasca Perang Dunia II hingga Sekarang

Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Shinto kehilangan statusnya sebagai agama negara. Konstitusi baru menjamin kebebasan beragama dan memisahkan agama dari negara. Meski demikian, Shinto tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya Jepang. Banyak orang Jepang masih berpartisipasi dalam ritual-ritual Shinto meskipun tidak menganggap diri mereka sebagai penganut agama tertentu.

Perkembangan sejarah ini menunjukkan bagaimana Shinto telah beradaptasi dengan berbagai perubahan sosial dan politik di Jepang, sambil tetap mempertahankan esensi spiritualnya yang terkait erat dengan alam dan budaya Jepang.

Kuil Shinto: Arsitektur dan Fungsi
Kuil Shinto, yang dikenal sebagai jinja atau jingu, adalah pusat spiritual dan tempat ibadah utama dalam agama Shinto. Arsitektur dan fungsi kuil Shinto mencerminkan filosofi dan kepercayaan agama ini. Mari kita telusuri lebih dalam tentang karakteristik dan peran kuil Shinto:

Arsitektur Kuil Shinto

Kuil Shinto memiliki beberapa elemen arsitektur khas:

Torii: Gerbang sakral yang menandai batas antara dunia profan dan sakral. Biasanya berwarna merah vermilion.
Sandō: Jalan setapak yang mengarah ke bangunan utama kuil.
Haiden: Aula pemujaan di mana pengunjung berdoa.
Honden: Bangunan utama yang menyimpan objek suci (shintai) tempat kami bersemayam. Biasanya tertutup untuk umum.
Temizuya: Paviliun air untuk ritual penyucian sebelum berdoa.
Komainu: Patung singa-anjing penjaga yang ditempatkan di depan kuil.
Shimenawa: Tali jerami besar yang menandai area sakral.
Arsitektur kuil Shinto umumnya sederhana dan terbuat dari kayu, mencerminkan hubungan erat Shinto dengan alam. Gaya arsitekturnya, yang disebut shinmei-zukuri, berakar pada desain lumbung padi tradisional Jepang.

 

Baca Jugaa : Kate Middleton’s Charm Appears Wearing Queen Elizabeth II’s Jewelry 

 

Fungsi Kuil Shinto

Kuil Shinto memiliki berbagai fungsi dalam masyarakat Jepang:

  • Tempat Ibadah: Kuil adalah tempat utama untuk berdoa dan berkomunikasi dengan kami.
  • Pusat Ritual: Berbagai upacara dan festival Shinto diselenggarakan di kuil.
  • Penyimpanan Objek Suci: Kuil menyimpan shintai, objek yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya kami.
  • Pusat Komunitas: Kuil sering menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya masyarakat setempat.
  • Tempat Perlindungan Spiritual: Orang-orang mengunjungi kuil untuk memohon perlindungan dan berkah dari kami.
  • Penjualan Jimat dan Persembahan: Kuil menjual berbagai omamori (jimat) dan menerima persembahan dari pengunjung.
  • Pelestarian Budaya: Kuil berperan dalam melestarikan tradisi dan seni Jepang kuno.
  • Tempat Meditasi: Lingkungan kuil yang tenang menyediakan ruang untuk refleksi dan meditasi.

Jenis-jenis Kuil Shinto

Terdapat beberapa jenis kuil Shinto, antara lain:

Jingū: Kuil yang didedikasikan untuk anggota keluarga kekaisaran.
Taisha: Kuil besar dengan sejarah panjang dan signifikansi nasional.
Jinja: Istilah umum untuk kuil Shinto.
Miya: Kuil kecil atau kapel.
Yashiro: Kuil sederhana di pedesaan.
Etiket di Kuil Shinto

Saat mengunjungi kuil Shinto, ada beberapa etiket yang perlu diperhatikan:

Membungkuk sebelum melewati torii
Melakukan ritual penyucian di temizuya
Menghindari berjalan di tengah sandō, yang dianggap jalur untuk kami
Membungkuk dua kali, bertepuk tangan dua kali, berdoa, lalu membungkuk sekali lagi saat berdoa di haiden
Tidak mengambil foto di area yang dilarang
Berpakaian sopan dan menghormati ketenangan tempat suci